MagzNetwork


Seminar "Peluang dan Tantangan Alumni Fakultas Adab di Era Global", Forum Dekan Fakultas Adab UIN, IAIN, dan STAIN se-Indonesia VIII, di Banda Aceh, 6-8 November 2008.

Era globalisasi merupakan babak baru dalam sejarah peradaban manusia. Kemajuan mutakhir yang telah dicapai di bidang teknologi informasi telah menyebabkan penetrasi informasi mengalir deras melalui berbagai media elektronika dan menjangkau ke segenap pelosok dan penjuru dunia. Implikasi penetrasi informasi ini antara lain terbentuknya cara hidup global dengan paradigma baru beserta tuntutan nilai-nilai universal yang menjadi acuan bersama dalam pergaulan hidup, kerjasama serta persaingan bebas. Perkembangan akhir ini telah membuka berbagai peluang di segala bidang untuk dimanfaatkan, sebaliknya memunculkan pula tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi. Sebagai bangsa kita dituntut memiliki kekuatan dan kemampuan yang andal dan nyata untuk mengantisipasinya, bukan saja dalam bentuk kekuatan materialistik atau kekayaan alam akan tetapi lebih dalam kesiapan kultural sebagai modal dasar pengembangan berbagai potensi rill untuk menyikapi masalah-masalah serta mengelola tata kelembagaan masyarakat yang mampu membendung dan menyaring derasnya arus globalisasi itu.

Kesiapan kultural dalam rangka menyikapi perubahan-perubahan yang bergerak cepat di era globalisasi diperlukan upaya-upaya sadar untuk melakukan pencerahan dan perombakan sikap secara mendasar. Pencerahan diperlukan untuk merehabilitasi dan merevitalisasi kedudukan fungsi nilai dalam masyarakat sebagai kekuatan rohani yang pada gilirannya akan menghidupkan kembali jati diri dan menyelamatkan peradaban bangsa. Sementara itu, perombakan sikap dasar tidak selalu harus dengan pendekatan struktural yang coersif (memaksa), melainkan dengan cara kultural yang persuasive.

Dampak Pengabaian budaya

Pendidikan masih diyakini sebagai bagian proses pembudayaan bangsa, namun ironisnya sistem pendidikan di Indonesia sejak beberapa dekade yang lalu, ternyata sistem politik telah memberi pengaruh yang sangat tidak menguntungkan terhadap orientasi pendidikan. Sejak masa orde baru ilmu-ilmu sosial budaya sangat termarjinalkan. Prioritas terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang dijadikan sentral pembangunan telah menjadikan ilmu-ilmu sosial budaya semakin dianggap kurang penting. Kedua ilmu ini tidak diorientasikan sebagai kajian kritis analitis, akan tetapi sebagai alat indoktrinasi untuk kepentingan politik (Melani Budianta, 1998), akibatnya ilmu ini menjadi kurang berdaya untuk menjawab persoalan-persoalan sosial dan budaya yang semakin rumit. Pemerintahan orde baru telah mendefenisikan budaya berorientasi pada nilai dan ekspresi budaya adiluhung yang harus dilestarikan, kebudayaan dipandang hanya sebagai komoditas pembangunan, sehingga membatasi ruang gerak ilmu budaya sebagai alat transformasi kebudayaan.

Menyangkut implikasi dari peminggiran budaya dalam pendidikan selama ini, Engkoswara (http://freelist.org/index.html), melakukan diagnosis secara terbatas dan menyimpulkan bahwa krisis multidimensi yang melanda Indonesia dewasa ini disebabkan oleh pengabaian terhadap budaya. Dampak yang ditimbulkan akibat pengabaian budaya sangat luar biasa terhadap prilaku masyarakat, menjamurnya kasus-kasus moralitas di segala lapisan sosial, pelanggaran terhadap peraturan dan perundang-undangan, keserakahan telah memicu KKN yang susah diberantas, melemahnya semangat kerja, ingin cari untung dengan cara enteng, menjadikan orang dengan gampang melakukan pemalakan, pencurian dan penipuan, kreatifitas yang tidak terpuji yang menyenangi pornografi, pornoaksi, dan narkotika, kekerasan, pembunuhan sadis dan mutilasi yang tak berprikemanusiaan menjadi hal yang biasa. Selain itu tantangan global yang sangat dahsyat yaitu kehidupan yang semakin transparan, persaingan yang semakin ketat dan penetrasi budaya yang makin menggila telah memberikan kontribusi yang cukup kuat untuk mendobrak kekohohan pagar normatif yang berasal dari tradisi budaya ataupun agama.

Produk pendidikan dewasa ini secara kuantitatif memperlihatkan perkembangan yang cukup signifikan dibanding dengan 50 atau 60 tahun yang lalu, namun permasalahan moralitas bangsa semakin tidak terkendali dalam hampir segala lini dan strata, perampok berdasi, kriminalitas ilmuan, penggerusan harta rakyat melalui cara-cara yang tidak beretika yang justru dilakukan oleh kalangan yang terdidik atau elit bangsa, bahkan tidak jarang juga elit agama sekalipun. Ini adalah indikasi dari melemahnya peran pendidikan dalam proses transformasi budaya.

Keilmuan Budaya dalam Proses Tranformasi Budaya

Fakultas Adab di lingkungan PTAI adalah salah satu bagian dari kelembagaan agama yang mengelola berbagai disiplin di bawah payung keilmuan budaya. Pada tataran idealnya, fakultas ini seyogianya melahirkan lulusan dengan kemampuan intelektualitas yang dapat memberikan kontribusi nyata dalam rangka menemukan solusi atas persoalan-persoalan budaya masyarakat melalui pendekatan keislaman. Di tengah kondisi masyarakat yang terombang ambing dalam arus gelombang perubahan yang berlangsung cepat, peran itu seharusnya menjadi lebih strategis untuk beberapa alasan, pertama : pendekatan strukural yang selama ini digunakan ternyata belum mampu menjawab problema sosial, bahkan sistem pendidikan dan pendekatan pembangunan yang berorientasi materialistik dan menempatkan ekonomi sebagai prioritas, telah menghasilkan intelektual kapitalistik yang minus moralitas. Kedua: Masyarakat Indonesia dalam beberapa waktu belakangan berkecendrungan melakukan pencarian religious sebagai solusi kehidupan individual atas carut marut politik dan ekonomi yang semakin memperlihat arah yang sukar dipahami, ketiga: Konflik sosial, wabah penyakit dan bencana alam yang dialami secara bertubi-tubi telah menyebabkan kegoncangan psikologis dan shock budaya akibat tekanan situasi-situasi baru dalam kehidupan sosial dan individual masyarakat Indonesia. Masih banyak alasan lain kenapa solusi kultural dengan pendekatan keagamaan menjadi lebih diperlukan.

Fakultas Adab dengan tiga disiplin utama yaitu : Ilmu Bahasa/Sastra, Ilmu Sejarah, dan Ilmu Informasi memiliki relevansi yang kuat dengan persoalan kultural seperti yang disebutkan.

Bahasa adalah identitas suatu bangsa sekaligus menjadi salah satu faktor yang mengintegrasikan masyarakat pendukungnya. Kajian keilmuan bahasa memiliki hubungan yang erat dengan analisis tentang budaya suatu masyarakat. Menurut Ariel Heryanto (2000), kebudayaan bukan dipandang sebagai suatu realitas kebendaan, tapi persepsi, pemahaman atau konsep untuk melihat, menangkap dan mencerna realitas. Kebudayaan ada hanya jika ada kesadaran, konsep, dan bahasa manusia untuk melihat keberadaannya. Dengan kesadaran, konsep, dan bahasa tersebut manusia memberikan makna pada dunia yang dilihatnya. Keilmuan sastra menganalisis karya sastra untuk mengungkap makna, ekspressi dan keprihatinan sosial yang terkandung di dalamnya. Membedah suatu karya sastra secara literer akan memberikan pesona estetik, namun dari sisi non-literernya mengungkap berbagai elemen estetik yang bermanfaat bagi pencerahan batin bagi penikmatnya. Sastra sudah lama diakui dapat menjadi sumber spirit kebangkitan suatu bangsa, spirit cinta pada tanah air, dan sumber semangat patriotik untuk melawan segala bentuk penjajahan. Karya sastra dapat menjadi sumber inspirasi dan pendorong kekuatan moral bagi proses perubahan social-budaya (Ahmadun Yosi Herfanda, 2008).

Ilmu sejarah, sebagai suatu disiplin ilmu yang mengkaji realitas manusia dalam dimensi waktu, mengungkap berbagai jaringan yang membentuk keberadaannya sebagai suatu masyarakat serta perubahan yang berlangsung didalamnya, Ilmu ini secara analitis dapat menjelaskan berbagai dimensi kehidupan masa lalu beserta penyebabannya. Sejarah juga dapat menguak realitas kekinian dalam analogi masa lalu, menyingkap praksis sosial dan kultural yang muncul pada zamannya untuk kemudian menyediakan pilihan masa kini untuk melangkah ke masa depan

Ilmu perpustakaan merupakan disiplin yang bergerak dalam pengelolaan informasi. Perpustakaan sebagai penyedia informasi mengambil peran pada moda kumunikasi dalam peradaban manusia. Dalam ranah ini perpustakaan dapat menjadi salah satu kekuatan pembangun informasi dalam rangka pencerahan peradaban manusia. Peran-peran ini, secara konseptual, menjadikan perpustakaan sebagai medium dalam proses dialektik konstruksi, rekonstruksi, dan tranformasi kebudayaan.

Lulusan Fakultas Adab : Antara Kontribusi Keilmuan dan Lapangan Kerja

Apa yang dikemukakan, sesungguhnya, lebih pada peran keilmuan yang secara akademik diharapkan dari lulusan fakultas Adab setelah mereka memasuki area ”kerja” dalam berbagai lapangan kehidupan sosial. Namun, apakah ketika masa-masa peralihan area itu para lulusan cukup menyadari peran yang akan dan harus mereka mainkan itu?, lalu, apakah semua proses akademik yang telah mereka lalui cukup mendukung untuk menjadikan para lulusan berkemampuan untuk memainkan peran itu?, kalau ya, apakah peran itu cukup memberikan harapan?.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mungkin tidak terlalu sulit untuk dijawab bila dilihat dari fakta bahwa lebih dari 40 % lulusan fakultas Adab memilih lapangan kerja sebagai pegawai negeri/swasta yang tidak relevan dengan keilmuan mereka, dan 25 % memilih untuk berwira-swasta. Fakta ini setidaknya mengasumsikan dua hal, pertama : ketersediaan lapangan kerja yang dapat dimasuki lulusan kurang mengakomodasi varian keilmuan yang diajarkan di fakultas ini. Ini dapat dilihat dari proses rekruitmen pegawai negeri yang dilakukan oleh Departemen Agama sendiri, dimana lulusan PTAI yang sesuai dengan bidang-bidang kerja yang ada tidak mendapat prioritas yang lebih dibanding dengan lulusan PTU/PTAI yang memiliki keilmuan yang tidak relevan, terutama dalam menetapkan standar IPK yang dipersyaratkan sebagai indikator kelayakan kerja yang akan dimasuki. Kedua : lulusan tidak cukup memiliki kepercayaan diri untuk memilih atau menciptakan lapangan kerja yang relevan dengan keilmuan yang dimiliki. Hal itu disebabkan antara lain oleh lemahnya kompetensi keilmuan yang dapat diberikan oleh program studi yang dilalui.

Bila asumsi pertama benar, maka sistem rekruitmen pegawai (setidaknya untuk Departemen Agama), agaknya perlu direkomendasikan agar mempertimbangkan prioritas keilmuan lulusan untuk bidang-bidang kerja yang terkait. Apa yang dikemukakan tentu memiliki manfaat ganda, baik untuk kepastian lapangan kerja lulusan PTAI, maupun untuk peningkatan kualitas pegawai pada bidang-bidang kerja tertentu di Departemen sendiri, sekaligus juga tentu berimplikasi bagi konsistensi peningkatan karir pegawai itu sendiri. Namun bila asumsi kedua benar, maka seyogianya efektifitas sistem pengelolaan akademik yang selama ini dijalankan, seperti kurikulum, tenaga pengajar, serta sarana penunjang akademik lainnya, perlu dilakukan evaluasi secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai hal yang terkait dengan itu, seperti input, proses rekruitmen, dan , tentu juga, analisis lapangan kerja alumni itu sendiri.

Akhirul Kalam

Era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi dengan segala implikasi sosial kultural yang ditimbulkannya perlu mendapatkan perhatian tersendiri secara keilmuan, terutama keilmuan budaya. Fakultas Adab dengan beberapa disiplin yang dibidanginya, secara akademik, dirasakan sangat relevan ketika persoalan-persoalan sosial-kultural yang terjadi, perlu mendapatkan solusi. Akan tetapi alumni fakultas Adab secara umum menghadapi pilihan sulit ketika harus menentukan lapangan kerja yang harus dimasuki, yaitu antara lapangan kerja yang dapat memberikan hidup, tapi tidak relevan dengan keilmuannya, dengan ”lapangan kerja” yang relevan namun kurang menjanjikan secara finansial. Fakultas Adab perlu mengembangkan strategi-strategi yang efektif untuk menjembatani pilihan-pilihan sulit itu, antara lain dengan melakukan sosialisasi kompetensi lulusan secara eksternal sembari melakukan pembenahan secara internal terhadap materi ajar, metode pembelajaran, proses dan perangkat akademik lainnya.

Wallahu a’lamu bish-shawab.

Banda Aceh, Nopember 2008

© Irhash A. Shamad
Makalah, disampaikan pada Forum Workshop Nasional VIII Pengembangan Fakultas Adab UIN, IAIN, dan STAIN se-Indonesia, di Banda Aceh, pada tanggal 7-9 Nopember 2008




0 komentar

Posting Komentar