MagzNetwork

Jurusan BSA dan SKI Terakreditasi untuk Tahun 2007-2013

Diposting oleh Fakultas Ilmu Budaya - Adab | 13.51 | | 1 komentar »


Padang, 2 Januari 2009. Mahasiswa jurusan Bahasa dan sastra Arab (BSA) dan jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang mulai awal tahun ini boleh merasa lega, karena sejak Desember yang lalu, kedua jurusan ini telah dinyatakan TERAKREDITASI oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Menurut Dekan Fakultas Adab Drs. Irhash A. Shamad, M. Hum. pengolahan bahan akreditasi jurusan BSA dan SKI yang dimulai dengan pengisian eva prodi, penyediaan data dan perumusan Evaluasi Diri, pengisian borang akreditasi beserta kelengkapan lampiran-lampiran yang diperlukan, telah secara intensif dilakukan oleh PSIF bersama kedua jurusan sejak bulan Maret 2008. Semua kelengkapan persyaratan akreditasi kedua jurusan ini, dapat dituntaskan pada akhir juni 2008 dan dikirim ke BAN-PT tanggal 26 Juni 2008 dengan menugaskan Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum untuk mengantar langsung ke BAN PT di Jakarta.

Sedangkan pelaksanaan visitasi (field assessment) untuk jurusan SKI dilaksanakan pada tanggal 12-13 September 2008 oleh 2 orang Assesor dari BAN-PT, yaitu : Prof. Dr. Ali Mufrodi (UIN Surabaya) dan Prof. Dr. H. Amany Lubis (UIN Jakarta), disusul kemudian visitasi jurusan Bahasa dan Sastra Arab dilaksanakan pada tanggal 17-18 Oktober 2008 oleh assessor : Prof. Dr. Aziz Fakhrurrozy dari UIN Jakarta dan Dr. Ainin dari UIN Malang.

Berdasarkan Surat Keputusan Badan akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Nomor : 026/BAN-PT/Ak-XI/S1/X/2008 tanggal 24 Oktober 2008, maka jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) dinyatakan telah TERAKREDITASI : B dengan nilai 351 yang berlaku hingga 24 Oktober 2013. Beberapa waktu setelah itu disusul pula dengan Surat Keputusan Badan akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Nomor : 029/BAN-PT/Ak-XI/S1/XI/2008 tanggal 13 Nopember 2008, yang menyatakan bahwa jurusan Bahasa dan Sastra Arab (BSA) TERAKREDITASI B dengan nilai 319 dan berlaku hingga 13 Nopember 2013.

Menurut dekan, dengan keluarnya SK BAN-PT untuk jurusan BSA dan SKI pada akhir tahun 2008, maka fakultas Ilmu Budaya Adab menjadi yang pertama menyelesaikan akreditasi jurusan di lingkungan IAIN Imam Bonjol, dan sekaligus merupakan kabar baik yang dapat melegakan semua civitas akademika fakultas, terutama bagi mahasiswa kedua jurusan. Sementara jurusan-jurusan lainnya segera akan menyusul, karena saat ini sedang dalam proses izin. Diharapkan pada tahun 2009 ini masalah pengurusan legalisasi semua jurusan dapat diselesaikan.(a1)
...selengkapnya...

Dari Forum Sastra dan Budaya V, Yogyakarta 2008

Diposting oleh Fakultas Ilmu Budaya - Adab | 19.20 | | 0 komentar »

Forum Sastra dan Budaya V Fakultas Sastra dan Budaya Perguruan Tinggi se-Indonesia dilaksanakan di Yogyakarta dengan mengambil tempat di Wisma MM-UGM tanggal 28-29 Nopember 2008. Forum kali ini diikuti oleh 59 orang delegasi dengan 30 Fakultas Sastra dan Fakultas Ilmu Budaya yang terdiri dari Dekan-Dekan dan Pembantu Dekan masing-masing fakultas. Dari Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang dihadiri langsung oleh Dekan, Drs. Irhash A. Shamad, M. Hum. Tema yang diangkatkan dalam forum kali ini adalah ”Membangun Fakultas Sastra dan Budaya Berkelas Internasional” dengan keynote speaker : Prof. Bambang Soedibyo, Ph. D (Menteri Pendidikan Nasional).

Mengemuka dalam forum ini antara lain bahwa menjadi perguruan tinggi yang berkelas internasional bukanlah didasarkan pada pernyataan diri, akan tetapi pengakuan yang diberikan oleh pihak eksternal berdasarkan keunggulan (prominent graduates), research performance (out put/strategic capacity building), internationalization (publikasi akademik, konferensi, pertukaran kunjungan, pertukaran dosen, mahasiswa internasional, keterlibatan sebagai editor jurnal internasional, memimpin jejaring kerja yang berskala internasional), world reputation (world ranking dan international acknowledgement).

Sedangkan lembaga yang saat ini berperan dalam memberikan world ranking (ranking internasional) bagi perguruan-perguruan tinggi dunia antara lain :
a. THES (Time Higher Education Supplement) berdasarkan penilaian atas : peer review (40 %), employer review (10 %), student/teacher review (20 %), citation index (20 %), international teachers (5 %), dan international student (5 %).
b. Shanghai Jiaotong Academic Ranking of world university. Lembaga ini melakukan penilaian berdasarkan : alumni as Novel laureates (10 %), faculty as Novel laureates (20 %), highly-cited researchers (20 %), article in nature and science (20 %), article in SCI (20 %), dan size (10 %).
c. Webometrics Ranking of World University yang menilai berasarkan : web size (20 %), rich files (15 %), scholar (google) (15 %), dan visibility (link) (50 %).

Kriteria world class sama sekali tidak ditentukan oleh bahasa pengantar yang digunakan, sebagaimana yang diduga selama ini, akan tetapi oleh terpenuhinya standar penyelenggaraan akademik yang diukur berdasarkan standar terdahulu atau kemampuan perguruan tinggi untuk termasuk 500 besar di ranking internasional melalui THES, Jiaotong, atau Webometric. Untuk merekrut mahasiswa asing, PT dapat membuka BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) yang harus diikuti selama 6 bulan sebelum diterima sebagai mahasiswa.

Fakultas Ilmu Budaya/Fakultas Sastra seyogianya mengembangkan diri menjadi world class sejauh ada upaya untuk memenuhi berbagai kriteria yang disebutkan serta mengubah paradigma pembelajaran yang mengikuti perkembangan teknologi informasi yang tanpa meninggalkan akar-akar budaya, karena justru basis budaya lokal akan lebih menjadi uniqueness dan prominent graduate bagi fakultas ilmu budaya/sastra sendiri.

Perkembangan teknologi adalah masalah budaya, bahkan kerusakan lingkungan juga adalah masalah budaya, karena itu untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa dilepaskan dari kajian-kajian budaya. Untuk itu fakultas ilmu budaya/fakultas sastra harus dapat menangkap peluang pengembangan akademik yang berorientasi kepada perkembangan modern itu.
Fakultas Ilmu Budaya/ Fakultas Sastra harus dapat menunjukkan keunggulan kualitatif maupun kuantitatif output penelitian budaya untuk mengokohkan peran keilmuan budaya dalam pembangunan bangsa. Kementerian Ristek sejak tahun beberapa tahun belakangan telah mulai memberi perhatian pada penelitian bidang budaya dengan membentuk Deputi Bidang Budaya. Sejak waktu itu Kementrian Ristek mengalokasikan dana bagi penelitian bidang budaya yang meliputi antara lain meliputi :
a. Kajian aspek social dan kemasyarakatan dalam berbagai kebijakan public yang terpaut dengan bidang pangan, energi, transportasi, informasi dan komunikasi, pertahanan dan keamanan, serta kesehatan dan obat-obatan.
b. Memberkuat dimensi social dan kemanusiaan dari keenam bidang fokus itu, dan
c. Mempercepat difusi dan pemanfaatan iptek pada keenam bidang focus pembangunan iptek dengan memperhatikan keterkaitan antar bidang tersebut.
Untuk merebut peluang alokasi penelitian bidang budaya di kementrian Ristek inilah yang antara lain menjadi alasan pergantian nama beberapa fakultas sastra menjadi fakultas ilmu budaya.

Untuk pelaksanaan Forum Sastra dan Budaya VI pada tahun 2010 yang akan datang disepakati sebagai penyelenggara adalah Fakultas Sastra, Universitas Andalas Padang. Selain itu Forum juga menyepakati untuk menerbitkan jurnal internasional bidang sastra dan budaya yang diselenggarakan bersama dan didukung oleh 30 fakultas Sastra dan Budaya yang hadir pada forum V Yogyakarta ini. Nama jurnal dicadangkan : ”Humanities” dan akan lounching pada Forum Sastra dan Budaya VI Padang 2010 yang akan datang.
...selengkapnya...


Seminar "Peluang dan Tantangan Alumni Fakultas Adab di Era Global", Forum Dekan Fakultas Adab UIN, IAIN, dan STAIN se-Indonesia VIII, di Banda Aceh, 6-8 November 2008.

Era globalisasi merupakan babak baru dalam sejarah peradaban manusia. Kemajuan mutakhir yang telah dicapai di bidang teknologi informasi telah menyebabkan penetrasi informasi mengalir deras melalui berbagai media elektronika dan menjangkau ke segenap pelosok dan penjuru dunia. Implikasi penetrasi informasi ini antara lain terbentuknya cara hidup global dengan paradigma baru beserta tuntutan nilai-nilai universal yang menjadi acuan bersama dalam pergaulan hidup, kerjasama serta persaingan bebas. Perkembangan akhir ini telah membuka berbagai peluang di segala bidang untuk dimanfaatkan, sebaliknya memunculkan pula tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi. Sebagai bangsa kita dituntut memiliki kekuatan dan kemampuan yang andal dan nyata untuk mengantisipasinya, bukan saja dalam bentuk kekuatan materialistik atau kekayaan alam akan tetapi lebih dalam kesiapan kultural sebagai modal dasar pengembangan berbagai potensi rill untuk menyikapi masalah-masalah serta mengelola tata kelembagaan masyarakat yang mampu membendung dan menyaring derasnya arus globalisasi itu.

Kesiapan kultural dalam rangka menyikapi perubahan-perubahan yang bergerak cepat di era globalisasi diperlukan upaya-upaya sadar untuk melakukan pencerahan dan perombakan sikap secara mendasar. Pencerahan diperlukan untuk merehabilitasi dan merevitalisasi kedudukan fungsi nilai dalam masyarakat sebagai kekuatan rohani yang pada gilirannya akan menghidupkan kembali jati diri dan menyelamatkan peradaban bangsa. Sementara itu, perombakan sikap dasar tidak selalu harus dengan pendekatan struktural yang coersif (memaksa), melainkan dengan cara kultural yang persuasive.

Dampak Pengabaian budaya

Pendidikan masih diyakini sebagai bagian proses pembudayaan bangsa, namun ironisnya sistem pendidikan di Indonesia sejak beberapa dekade yang lalu, ternyata sistem politik telah memberi pengaruh yang sangat tidak menguntungkan terhadap orientasi pendidikan. Sejak masa orde baru ilmu-ilmu sosial budaya sangat termarjinalkan. Prioritas terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang dijadikan sentral pembangunan telah menjadikan ilmu-ilmu sosial budaya semakin dianggap kurang penting. Kedua ilmu ini tidak diorientasikan sebagai kajian kritis analitis, akan tetapi sebagai alat indoktrinasi untuk kepentingan politik (Melani Budianta, 1998), akibatnya ilmu ini menjadi kurang berdaya untuk menjawab persoalan-persoalan sosial dan budaya yang semakin rumit. Pemerintahan orde baru telah mendefenisikan budaya berorientasi pada nilai dan ekspresi budaya adiluhung yang harus dilestarikan, kebudayaan dipandang hanya sebagai komoditas pembangunan, sehingga membatasi ruang gerak ilmu budaya sebagai alat transformasi kebudayaan.

Menyangkut implikasi dari peminggiran budaya dalam pendidikan selama ini, Engkoswara (http://freelist.org/index.html), melakukan diagnosis secara terbatas dan menyimpulkan bahwa krisis multidimensi yang melanda Indonesia dewasa ini disebabkan oleh pengabaian terhadap budaya. Dampak yang ditimbulkan akibat pengabaian budaya sangat luar biasa terhadap prilaku masyarakat, menjamurnya kasus-kasus moralitas di segala lapisan sosial, pelanggaran terhadap peraturan dan perundang-undangan, keserakahan telah memicu KKN yang susah diberantas, melemahnya semangat kerja, ingin cari untung dengan cara enteng, menjadikan orang dengan gampang melakukan pemalakan, pencurian dan penipuan, kreatifitas yang tidak terpuji yang menyenangi pornografi, pornoaksi, dan narkotika, kekerasan, pembunuhan sadis dan mutilasi yang tak berprikemanusiaan menjadi hal yang biasa. Selain itu tantangan global yang sangat dahsyat yaitu kehidupan yang semakin transparan, persaingan yang semakin ketat dan penetrasi budaya yang makin menggila telah memberikan kontribusi yang cukup kuat untuk mendobrak kekohohan pagar normatif yang berasal dari tradisi budaya ataupun agama.

Produk pendidikan dewasa ini secara kuantitatif memperlihatkan perkembangan yang cukup signifikan dibanding dengan 50 atau 60 tahun yang lalu, namun permasalahan moralitas bangsa semakin tidak terkendali dalam hampir segala lini dan strata, perampok berdasi, kriminalitas ilmuan, penggerusan harta rakyat melalui cara-cara yang tidak beretika yang justru dilakukan oleh kalangan yang terdidik atau elit bangsa, bahkan tidak jarang juga elit agama sekalipun. Ini adalah indikasi dari melemahnya peran pendidikan dalam proses transformasi budaya.

Keilmuan Budaya dalam Proses Tranformasi Budaya

Fakultas Adab di lingkungan PTAI adalah salah satu bagian dari kelembagaan agama yang mengelola berbagai disiplin di bawah payung keilmuan budaya. Pada tataran idealnya, fakultas ini seyogianya melahirkan lulusan dengan kemampuan intelektualitas yang dapat memberikan kontribusi nyata dalam rangka menemukan solusi atas persoalan-persoalan budaya masyarakat melalui pendekatan keislaman. Di tengah kondisi masyarakat yang terombang ambing dalam arus gelombang perubahan yang berlangsung cepat, peran itu seharusnya menjadi lebih strategis untuk beberapa alasan, pertama : pendekatan strukural yang selama ini digunakan ternyata belum mampu menjawab problema sosial, bahkan sistem pendidikan dan pendekatan pembangunan yang berorientasi materialistik dan menempatkan ekonomi sebagai prioritas, telah menghasilkan intelektual kapitalistik yang minus moralitas. Kedua: Masyarakat Indonesia dalam beberapa waktu belakangan berkecendrungan melakukan pencarian religious sebagai solusi kehidupan individual atas carut marut politik dan ekonomi yang semakin memperlihat arah yang sukar dipahami, ketiga: Konflik sosial, wabah penyakit dan bencana alam yang dialami secara bertubi-tubi telah menyebabkan kegoncangan psikologis dan shock budaya akibat tekanan situasi-situasi baru dalam kehidupan sosial dan individual masyarakat Indonesia. Masih banyak alasan lain kenapa solusi kultural dengan pendekatan keagamaan menjadi lebih diperlukan.

Fakultas Adab dengan tiga disiplin utama yaitu : Ilmu Bahasa/Sastra, Ilmu Sejarah, dan Ilmu Informasi memiliki relevansi yang kuat dengan persoalan kultural seperti yang disebutkan.

Bahasa adalah identitas suatu bangsa sekaligus menjadi salah satu faktor yang mengintegrasikan masyarakat pendukungnya. Kajian keilmuan bahasa memiliki hubungan yang erat dengan analisis tentang budaya suatu masyarakat. Menurut Ariel Heryanto (2000), kebudayaan bukan dipandang sebagai suatu realitas kebendaan, tapi persepsi, pemahaman atau konsep untuk melihat, menangkap dan mencerna realitas. Kebudayaan ada hanya jika ada kesadaran, konsep, dan bahasa manusia untuk melihat keberadaannya. Dengan kesadaran, konsep, dan bahasa tersebut manusia memberikan makna pada dunia yang dilihatnya. Keilmuan sastra menganalisis karya sastra untuk mengungkap makna, ekspressi dan keprihatinan sosial yang terkandung di dalamnya. Membedah suatu karya sastra secara literer akan memberikan pesona estetik, namun dari sisi non-literernya mengungkap berbagai elemen estetik yang bermanfaat bagi pencerahan batin bagi penikmatnya. Sastra sudah lama diakui dapat menjadi sumber spirit kebangkitan suatu bangsa, spirit cinta pada tanah air, dan sumber semangat patriotik untuk melawan segala bentuk penjajahan. Karya sastra dapat menjadi sumber inspirasi dan pendorong kekuatan moral bagi proses perubahan social-budaya (Ahmadun Yosi Herfanda, 2008).

Ilmu sejarah, sebagai suatu disiplin ilmu yang mengkaji realitas manusia dalam dimensi waktu, mengungkap berbagai jaringan yang membentuk keberadaannya sebagai suatu masyarakat serta perubahan yang berlangsung didalamnya, Ilmu ini secara analitis dapat menjelaskan berbagai dimensi kehidupan masa lalu beserta penyebabannya. Sejarah juga dapat menguak realitas kekinian dalam analogi masa lalu, menyingkap praksis sosial dan kultural yang muncul pada zamannya untuk kemudian menyediakan pilihan masa kini untuk melangkah ke masa depan

Ilmu perpustakaan merupakan disiplin yang bergerak dalam pengelolaan informasi. Perpustakaan sebagai penyedia informasi mengambil peran pada moda kumunikasi dalam peradaban manusia. Dalam ranah ini perpustakaan dapat menjadi salah satu kekuatan pembangun informasi dalam rangka pencerahan peradaban manusia. Peran-peran ini, secara konseptual, menjadikan perpustakaan sebagai medium dalam proses dialektik konstruksi, rekonstruksi, dan tranformasi kebudayaan.

Lulusan Fakultas Adab : Antara Kontribusi Keilmuan dan Lapangan Kerja

Apa yang dikemukakan, sesungguhnya, lebih pada peran keilmuan yang secara akademik diharapkan dari lulusan fakultas Adab setelah mereka memasuki area ”kerja” dalam berbagai lapangan kehidupan sosial. Namun, apakah ketika masa-masa peralihan area itu para lulusan cukup menyadari peran yang akan dan harus mereka mainkan itu?, lalu, apakah semua proses akademik yang telah mereka lalui cukup mendukung untuk menjadikan para lulusan berkemampuan untuk memainkan peran itu?, kalau ya, apakah peran itu cukup memberikan harapan?.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mungkin tidak terlalu sulit untuk dijawab bila dilihat dari fakta bahwa lebih dari 40 % lulusan fakultas Adab memilih lapangan kerja sebagai pegawai negeri/swasta yang tidak relevan dengan keilmuan mereka, dan 25 % memilih untuk berwira-swasta. Fakta ini setidaknya mengasumsikan dua hal, pertama : ketersediaan lapangan kerja yang dapat dimasuki lulusan kurang mengakomodasi varian keilmuan yang diajarkan di fakultas ini. Ini dapat dilihat dari proses rekruitmen pegawai negeri yang dilakukan oleh Departemen Agama sendiri, dimana lulusan PTAI yang sesuai dengan bidang-bidang kerja yang ada tidak mendapat prioritas yang lebih dibanding dengan lulusan PTU/PTAI yang memiliki keilmuan yang tidak relevan, terutama dalam menetapkan standar IPK yang dipersyaratkan sebagai indikator kelayakan kerja yang akan dimasuki. Kedua : lulusan tidak cukup memiliki kepercayaan diri untuk memilih atau menciptakan lapangan kerja yang relevan dengan keilmuan yang dimiliki. Hal itu disebabkan antara lain oleh lemahnya kompetensi keilmuan yang dapat diberikan oleh program studi yang dilalui.

Bila asumsi pertama benar, maka sistem rekruitmen pegawai (setidaknya untuk Departemen Agama), agaknya perlu direkomendasikan agar mempertimbangkan prioritas keilmuan lulusan untuk bidang-bidang kerja yang terkait. Apa yang dikemukakan tentu memiliki manfaat ganda, baik untuk kepastian lapangan kerja lulusan PTAI, maupun untuk peningkatan kualitas pegawai pada bidang-bidang kerja tertentu di Departemen sendiri, sekaligus juga tentu berimplikasi bagi konsistensi peningkatan karir pegawai itu sendiri. Namun bila asumsi kedua benar, maka seyogianya efektifitas sistem pengelolaan akademik yang selama ini dijalankan, seperti kurikulum, tenaga pengajar, serta sarana penunjang akademik lainnya, perlu dilakukan evaluasi secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai hal yang terkait dengan itu, seperti input, proses rekruitmen, dan , tentu juga, analisis lapangan kerja alumni itu sendiri.

Akhirul Kalam

Era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi dengan segala implikasi sosial kultural yang ditimbulkannya perlu mendapatkan perhatian tersendiri secara keilmuan, terutama keilmuan budaya. Fakultas Adab dengan beberapa disiplin yang dibidanginya, secara akademik, dirasakan sangat relevan ketika persoalan-persoalan sosial-kultural yang terjadi, perlu mendapatkan solusi. Akan tetapi alumni fakultas Adab secara umum menghadapi pilihan sulit ketika harus menentukan lapangan kerja yang harus dimasuki, yaitu antara lapangan kerja yang dapat memberikan hidup, tapi tidak relevan dengan keilmuannya, dengan ”lapangan kerja” yang relevan namun kurang menjanjikan secara finansial. Fakultas Adab perlu mengembangkan strategi-strategi yang efektif untuk menjembatani pilihan-pilihan sulit itu, antara lain dengan melakukan sosialisasi kompetensi lulusan secara eksternal sembari melakukan pembenahan secara internal terhadap materi ajar, metode pembelajaran, proses dan perangkat akademik lainnya.

Wallahu a’lamu bish-shawab.

Banda Aceh, Nopember 2008

© Irhash A. Shamad
Makalah, disampaikan pada Forum Workshop Nasional VIII Pengembangan Fakultas Adab UIN, IAIN, dan STAIN se-Indonesia, di Banda Aceh, pada tanggal 7-9 Nopember 2008




...selengkapnya...

FIB-A IAIN Perioritaskan Program Multimedia

Diposting oleh Fakultas Ilmu Budaya - Adab | 11.18 | | 2 komentar »

PADANG, METRO - Selasa, 12 Agustus 2008. Fakultas Ilmu Budaya-Adab (FIB-A) IAIN Imam Bonjol Padang, pada tahun ajaran 2008/2009 mulai memproritaskan program multimedia dalam proses pembelajaran guna meningkatkan kualitas dan suasana akademik yang efektif dan kondusif serta kelengkapan informasi. Untuk itu fakultas menyelenggarakan workshop pemanfaatan multimedia dalam pembelajaran yang diikuti selama 2 hari ini oleh dosen-dosen fakultas Adab.

Untuk mendukung program tersebut, Fakultas Ilmu Budaya-Adab juga membuka jaringan internet (hotspot) guna memberikan kemudahan bagi civitas akademika dalam akses keilmuan. “Dalam waktu dekat Fakultas Ilmu Budaya-Adab akan meluncurkan website fakultas di jaringan cyberspace, dalam rangka mengintensifkan jaringan komunikasi akademik, dosen dan mahasiswa serta interaksi dosen dengan jaringan profesional keilmuan yang lebih luas,” ungkap Dekan Fakultas Fakultas Ilmu Budaya-Adab Drs. Irhash A. Shamad M Hum dalam sambutannya pada acara Workshop Multi Media dalam Pembelajaran di lantai II Aula Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang, Senin (12/8).

Irhash mengatakan, Mahasiswa sebagai generasi yang berkutat dibangku pendidikan tidak harus belajar dalam ruang kelas yang monoton. namun mereka akan lebih kondusif bila diselingi dengan metode pengajaran yang sifatnya tidak menjenuhkan, salah satunya dengan menggunakan multimedia. Begitu juga dengan dosen sebagai pentransfer ilmu sudah seharusnya mampu mengemas dan menyajikan mata kuliah secara digital dalam berbagai format multimedia. "Pihak fakultas juga sedang mengupayakan agar setiap jurusan memiliki perangkat sarana pembelajaran yang diperlukan untuk itu, seperti Laptop dan Infokus untuk menunjang proses belajar mengajar" ujarnya.

Workshop yang di ikuti oleh seluruh dosen dan karyawan di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya-Adab ini dilaksanakan dengan kerja sama dengan Galang Net. Untuk mendukung program ini, Dekan Fakultas Ilmu Budaya-Adab dalam pembukaan Workshop tersebut sekaligus menyerahkan Laptop kepada jurusan (S1) masing-masing 1 (satu) unit.

“Acara ini berlansung dua hari, dengan harapan seluruh citivitas akademika Fakultas Ilmu Budaya-Adab bisa mendongkrak dunia informasi,” ungkap Ketua Pelaksana Workshop Multi Media dalam pembelajaran DR H Yufni Faisol M Ag.

Program yang sedang direncanakan Fakultas Ilmu Budaya-Adab tersebut, akan berimplikasi bagi peningkatan wawasan seluruh citivitas akademika yang ada. “Bagai mana pun untuk kedepan kita butuh jaringan yang lebih luas dengan dunia luar. karena memang pencarian ilmu tidak sampai disini saja,” tegas Irhash. (z)
...selengkapnya...

PAD IAIN Gelar Berbagai Kegiatan

Diposting oleh Fakultas Ilmu Budaya - Adab | 10.38 | | 0 komentar »

PADANG, METRO - Sabtu, 09 Agustus 2008. Memperingati hari jadinya ke 10 Program DIII, Jurusan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi (PAD) Fakultas Imu Budaya - Adab IAIN Imam Bonjol Padang menggelar Pameran dan gerakan penghijauan di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya-Adab.

Pameran foto, dokumentasi, seni dan kaligrafi serta penanaman beberapa pohon di sekitar fakultas tersebut, merupakan merupakan hasil karya dan perjalanan selama sepuluh tahun jurusan tersebut. “Momen ini merupakan ajang kreasi dan dan evaluasi, terhadap sepuluh tahun perjalanan jurusan PAD yang kian mendapat tempat di bidangnya,” ungkap Dekan Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN IB Padang Drs. Irhash A. Shamad M. Hum. kepada POSMETRO ketika pembukaan Pameran dan penanaman pohon di Gedung Dekanat Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN IB Padang, Kamis (7/8).

Irhash mengatakan, perkembangan jurusan PAD Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN IB dalam kancah pendidikan khususnya di Perguruan Tinggi serta peluang kerja yang menjanjikan tidak terlepas dari bentuk pengolaan yang serius dari seluruh citivitas akademika yang ada. Jurusan PAD yang dulunya DII kemudian dikembangkan menjadi DIII.

Alumninya tersebar diberbagai Instansi Pemerintah dan Swasta yang terkait di bidangnya. Setelah sukses melakukan pengembangan pada jurusan PAD pada tahun tahun ajaran 2008-2009 Fakultas Ilmu Budaya-Adab membuka program S1 Jurusan Imformasi dan Perpustakaan. “Untuk tahun ini jurusan tersebut masih dibuka bagi mahasiswa transfer DIII. Setelah izin pendirian jurusan dikeluarkan Insya Allah tahun ajaran 2009-2010 sudah menerima mahasiswa baru, begitu juga Jurusan Seni dan kaligrafi Islam,” katanya.

Pameran dan penghijauan tersebut, dibuka secara resmi oleh Pembantu Rektor I IAIN IB Padang Prof. Dr. H. Syafrudin Nurdin M.Pd. ditandai dengan pengguntingan pita dan penanaman pohon pertama yang disaksikan oleh segenap citivitas akademika Fakultas Ilmu Budaya - Adab.

Jurusan PAD yang yang terdiri dari dua Progaram Studi (Prodi) tersebut, masing-masing Prodi Perpustakaan dan Arsip/Dokumentasai.” Jurusan PAD tergolong langka untuk wilayah Sumatra Tengah, cuma ada, di IAIN dan UNP. Di antara keduanya tersebut, PAD IAIN paling tua dan punya S1. Alumninya sangat dibutuhkan malahan kita kekurangan stok untuk memenuhi permintaan tenaga kerja,” tegas Ketua Jurusan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Drs. Zulkarnaini M Ag.(z)
...selengkapnya...


Seminar Pengembangan Fakultas Adab dalam rangka Forum Dekan Fakultas Adab UIN, IAIN, dan STAIN se-Indonesia VII, di Jakarta 11-12 Desember 2008

1. Pendahuluan

Akhir-akhir ini terlihat kecendrungan Fakultas Adab di beberapa IAIN mengubah nama Fakultas Adab menjadi Fakultas Ilmu Budaya (Humaniora). Perubahan ini disebabkan oleh karena, selain nama Adab, yang selama ini digunakan, dirasakan kurang komunikatif bagi calon mahasiswa dan kalangan umum, juga oleh adanya keinginan untuk meluruskan pembidangan keilmuan sesuai dengan perluasan disiplin ilmu yang dikembangkan, serta upaya untuk menempatkannya dalam kerangka epistemologi yang semestinya. Nama Adab yang digunakan sebagai nama fakultas oleh kalangan pendiri fakultas ini pada awalnya tentu didasari oleh pertimbangan keilmuan yang akan dibidangi. Oleh karena pada waktu awal berdirinya, fakultas ini baru memiliki Jurusan Sastra Arab, maka pilihan nama jatuh pada kata adab (sastra Arab). Kemudian dalam perjalanannya, fakultas ini mengembangkan diri dengan membuka Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi, serta jurusan-jurusan lainnya. Pengembangan ini selain berimplikasi pada pengukuhan bidang keilmuan fakultas dan kurikulum mata kuliah dasar khusus yang ditetapkan sebagai penciri lulusan fakultas, sudah tentu, juga mengharuskan perluasan konsep nama fakultas yang mencerminkan bidang keilmuan yang akan memayungi disiplin-disiplin ilmu yang akan dibawahinya.

Pada awal tahun 2000an diberlakukan penggantian gelar akademik untuk lulusan Fakultas Adab, yaitu dari Sarjana Agama (S. Ag.) menjadi Sarjana Sastra (SS) untuk jurusan Bahasa dan Sastra Arab/Inggris, dan Sarjana Humaniora (S. Hum.) untuk Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Pergantian gelar ini, sesungguhnya juga mempunyai konsekuensi pada kapasitas keilmuan yang harus dimiliki oleh lulusan fakultas, paling tidak, konsekuensi gelar yang disandang itu harus mencerminkan kemampuan (kompetensi) yang setara dengan lulusan fakultas-fakultas sastra pada perguruan-perguruan tinggi umum (yang sekarang sebagian Fakultas Sastra pada perguruan tinggi itu sudah mengganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/Fakultas Ilmu Budaya).

Agaknya apa yang dikemukakan itu merupakan alasan logis untuk mengganti nama Fakultas Adab menjadi Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Sastra dan Budaya, atau menyandingkan kata Adab dengan Humaniora. Namun, betapapun alasan ini cukup logis dan akademis, tetap saja menimbulkan kontroversi antara yang ingin mempertahankan nama historis fakultas dengan kalangan yang ingin lebih membuka diri terhadap perubahan. Ada sebagian kesadaran yang terasa diusik dengan penggantian nama ini, karena merasa sebagai pemilik tunggal bidang keilmuan fakultas, dan dengan alasan kehilangan ciri spesifik (term Arab) nya berusaha meyakinkan untuk tidak perlu memperdebatkan lagi persoalan nama fakultas yang dianggap sudah cukup mapan itu, meski untuk beberapa alasan kurang komunikatif sebagaimana dikemukakan terdahulu. Yang lebih ironi lagi ialah ada keengga-nan sementara kalangan untuk menempatkan disiplin bahasa dan sastra di bawah bidang keilmuan budaya. Ini lebih terlihat ketika beberapa bobot sks harus ditambahkan ke dalam kurikulum mata kuliah dasar fakultas dengan mata-mata kuliah yang diperlukan untuk penyesuaian dengan bidang keilmuan budaya itu.

Apa yang dikemukakan ini adalah pengalaman Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang pada saat munculnya wacana penggantian nama fakultas ini beberapa tahun yang lalu. Bahkan hingga waktu ini persoalan nama fakultas masih tetap menjadi persoalan rumit untuk dikukuhkan, meski lembaga normatif fakultas telah menyetujui penggunaan nama Fakultas Ilmu Budaya-Adab, namun nama ini barulah sebatas penggunaan yang bertujuan sosialisasi dan promosi saja.

Untuk pembahasan tentang peta obyektif Fakultas Adab sebagai yang diminta oleh panitia penyelenggara Forum Dekan ini, maka akan dikemukakan beberapa hal yang terkait dengan pega-laman Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang. Pemaparan ini mungkin tidak bersifat ilmiah, karena hanya didasari oleh pengamatan langsung dari pengalaman lebih kurang empat tahun mengelola bidang akademik di fakultas ini, namun diharapkan akan menjadi bahan untuk sharing pengalaman dalam mencari upaya peningkatan Fakultas Adab ke depan pada forum yang berbahagia ini.

Setidaknya ada empat faktor yang diasumsikan sebagai masalah esensial yang memerlukan pemikiran serius untuk pengembangan Fakultas Adab ke depan, yaitu : masalah kompetensi lulusan, masalah kurikulum, masalah integrasi keilmuan, dan masalah tenaga pengajar

2. Kompetensi Lulusan : Masalah Orientasi Pasar, Kerja, atau Kontribusi Keilmuan

Pergantian gelar akademik ataupun perubahan nama fakultas menjadi Fakultas Ilmu Budaya atau Humaniora seperti yang dikemukakan terdahulu, tentu memengaruhi struktur kurikulum pembelajaran, yang karena itu tujuan pembelajarannyapun seyogianya dirumuskan dengan beberapa penyesuaian. Apa yang dikemukakan sebagai pengalaman Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang itu adalah gambaran dari ketidaksiapan sebagian kita untuk menerima perubahan dan untuk beradaptasi dengan perkembangan keilmuan yang ada. Dalam hal tujuan pembelajaran bidang bahasa dan sastra misalnya, selama ini kita lebih berpuas diri dengan hasil lulusan yang hanya mampu berbahasa aktif dan pasif, dan syukur-syukur kalau di antara mereka mampu menghasilkan karya-karya sastra. Kita tidak pernah tertarik untuk menjadikan pembelajaran bahasa dan sastra untuk memahami fenomena kemanusiaan dan kebudayaan secara kritis. Pada hal, kalau hanya untuk menghasilkan output yang mampu berbahasa aktif dan pasif saja, sebenarnya lembaga-lembaga kursus atau pelatihan bahasa mungkin lebih dapat diandalkan dan, bahkan, dapat dicapai dalam waktu yang relatif lebih singkat. Begitu juga pada bidang sastra, ternyata tidak sedikit pula sastrawan-sastrawan yang terlahir secara otodidak dari masyarakat, bukan dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Hal yang sama juga dapat dilihat pada disiplin sejarah dan Kebudayaan Islam, ternyata selama ini, kita lebih mempunyai kecendrungan untuk menjadikan mahasiswa sebagai penghafal-penghafal sejarah, ketimbang mampu untuk memahami sejarah, kita lebih banyak menjejali mahasiswa dengan sejarah naratif dan sangat kurang dalam memberikan kerangka analisis pada setiap pemaparan sejarah. Sehingga korelasi antara pembelajaran sejarah sebagai obyek kajian dengan metodologi sejarah hampir-hampir tidak diperoleh oleh mahasiswa.

Pada saat kurikulum berbasis kompetensi menjadi pemecahan masalah pendidikan tinggi di Indonesia, seyogianya persoalan kontekstualisasi pendidikan pada ilmu-ilmu yang membidangi kajian tentang manusia dan masyarakat lebih diarahkan pada kajian kritis yang relevan dengan perubahan sosial. Namun amat disayangkan bahwa, pada waktu ramai-ramai membicarakan tentang kurikulum berbasis kompetensi, persepsi umum -secara keliru- telah menempatkan orientasi tujuan pendidikan pada arus kapitalisasi global, sehingga tujuan pembelajaran, desain kuriku-lum, dan proses pembelajaran dibuat untuk memenuhi tuntutan pasar dan lowongan kerja semata, karena konsep pendidikan berbasis kompetensi seperti yang dimuat dalam Kepmendiknas 045/U/2002, dipahami hanya sebagai kompetensi kerja. Ini mengakibatkan orientasi lembaga pendidikan tinggi hanya untuk menghasilkan lulusan yang menguasai bidang dan profesi yang pada gilirannya akan menjadi perpanjangan tangan proses industrialisasi. Adalah sangat disadari, bahwa arus kapitalisasi telah mendorong pandangan hedonis pragmatis, yang kalau mempengaruhi pendidikan tinggi, tentu proses pembelajarannya hanya akan menjadi sarana untuk mencapai kemapanan hidup secara finansial individual semata. Hal ini tentu bertolak belakang dengan fungsi pendidikan sebagai yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta pera-daban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Bab II pasal 3). Penekanan tujuan pembelajaran pada aspek kompetensi kerja seperti dikemukakan, tentu, tidak selalu tepat bila dihadapkan pada perguruan tinggi agama, karena tidak semua bidang dan disiplin ilmu pada perguruan tinggi ini yang dapat diorientasikan pada pasar kerja dalam pengertian kapitalistik itu, terutama bidang dan disiplin ilmu murni, seperti ilmu budaya sendiri.

Bidang keilmuan budaya semestinya tidak berorientasi menghasilkan praktisi budaya, tetapi justru lulusan dengan kapasitas keilmuan yang mampu mengamati, menganalisis dan menemukan solusi atas masalah-masalah kebudayaan dalam masyarakat sesuai disiplin ilmu masing-masing. Oleh karena itu lulusan jurusan bahasa dan sastra tidak hanya diarahkan menjadi orang yang mampu menggunakan bahasa dalam praktek sehari-hari, ataupun menghasilkan karya-karya sastra, akan tetapi lebih jauh mampu mengamati dan menganalisis fenomena kebahasaan dan kesusasteraan dalam kerangka budaya masyarakat. Jurusan sejarah dan kebudayaan Islam tidak pula hanya diorientasikan untuk menghasilkan orang-orang yang menguasai perkembangan sejarah kebudayaan Islam dari yang klasik hingga modern, akan tetapi, juga mampu mengamati dan memahami fenomena-fenomena kehidupan dan kebudayaan secara historis analitis.

3. Kurikulum : Masalah Operasionalisasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

Kurikulum Berbasis Kompetensi pada fakultas Adab Padang sudah berjalan semenjak tahun akademi 2003/2004 dan pada tahun 2007 ini sudah mulai menghasilkan lulusan. Penyempurnaan terhadap KBK inipun sekarang sedang dilakukan oleh masing-masing jurusan. Dalam seminar dan lokakarya evaluasi yang dilaksanakan baru-baru ini, telah mengemuka sejumlah masalah yang terdapat pada operasionalisasi KBK yang disusun pada tahun 2002, dan hal itu tentu akan dijadikan pertimbangan bagi penyempurnaan kurikulum yang sedang dilaksanakan. Di antara masalah yang dianggap mendasar adalah :

a. Sosialisasi KBK di PTAI yang terkesan kurang maksimal telah memunculkan beragam penafsiran terhadap Kepmendiknas tentang KBK itu, sehingga memunculkan perbedaan-perbedaan pada saat diimplementasikan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam menetapkan mata-mata kuliah yang dikelompokkan sesuai kelompok komponen yang ditetapkan Kepmendiknas itu. Ketidakjelasan tentang konsep Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK), misalnya, sebagian memahami bahwa semua mata kuliah teoritis keilmuan termasuk ke dalamnya, sedangkan yang lainnya memasukkan mata kuliah obyek kajian pada kelompok ini, dan yang lain pula menempatkan mata kuliah metode penelitian. Sementara itu, mata kuliah yang disebutkan terakhir ini, untuk sebagian penafsiran, termasuk ke kelompok Mata Kuliah Prilaku Berkarya (MPB).

b. Ketidaksiapan sebagian besar tenaga pengajar dengan perubahan paradigma kurikulum 1974 menjadi KBK telah menyebabkan pengembangan sistem instruksional KBK, seperti syllabi, GBPP, SAP yang dibuat oleh dosen belum mencerminkan perubahan paradigma yang dimaksud. Masih ada pengampu mata kuliah yang hanya sekedar memberi label KBK pada materi-materi bahasan yang sebenarnya adalah syllabi Kurikulum 1974, dan tidak sedikit pula, yang secara ekstrim, hanya menambahkan materi praktikum pada mata kuliah yang sebenarnya tidak tepat untuk dipraktikumkan, namun tetap memuat praktikum untuk hanya alasan kompetensi.

c. Perimbangan mata kuliah yang berorientasi teori dan metodologi menjadi kurang diperhatikan, karena penekanan pada kompetensi utama lebih memfokus pada kemampuan praktis dan aplikatif semata dan menjadikannya sebagai sasaran kompetensi. Pengurangan bobot teori dan metodologi keilmuan pada beberapa jurusan, ditujukan untuk memaksimalkan capaian kompetensi. Apa yang dikemukakan, terutama terlihat pada jurusan bahasa dan sastra sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu.

d. Perubahan kepada KBK tidak diiringi dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk pencapaian kompetensi, seperti laboratorium, studio, serta ketersediaan kelengkapan dan dana bagi kegiatan-kegiatan praktis lain yang diperlukan untuk itu.

e. Prioritas pada kompetensi utama jurusan, telah melemahkan kompetensi yang diharapkan dari lulusan PTAI, sehingga diasumsikan lulusan yang dihasilkan kurang dapat berperan sebagai intelektual Islam yang mampu mengayomi masyarakat dalam bidang keagamaan. Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang menjadikan keahlian professi sebagai kompetensi utama, telah sedikit meminggirkan (paling tidak mengurangi bobot) mata kuliah dasar umum. Sehingga kompetensi keagamaan yang diharapkan dari lulusan PTAI, menjadi ber-kurang dibanding sebelum KBK. Fakta ini terlihat dari laporan Badan Pelaksana KKN IAIN Imam Bonjol yang dilaksanakan dua tahun terakhir yang mengeluhkan banyaknya kelemahan yang dimiliki oleh mahasiswa (KBK) yang diterjunkan ke masyarakat.

4. Masalah Integrasi Keilmuan

Seiring dengan perubahan gelar akademik yang diberlakukan untuk Fakultas Adab beberapa tahun yang lalu, Fakultas Adab Padang telah merumuskan visi fakultas sebagai berikut : ”Menjadi Fakultas yang Memiliki Otoritas dalam Bidang Keilmuan Budaya dalam Perspektif Islam”. Rumusan ini diharapkan akan menjadi spesifikasi Fakultas Adab yang akan membedakannya dengan lulusan Fakultas Ilmu Budaya lainnya. Penguasaan bidang budaya dengan disiplin-disiplin keilmuan yang dibawahinya dengan menggunakan perspektif Islam, tentu memerlukan penyesuaian berbagai aspek akademik yang tidak mudah, terutama menyangkut rumusan tentang bagaimana model integrasi keilmuan yang harus diakomodasi dalam kurikulum sebagaimana tuntutan visi fakultas yang telah dirancangkan itu.

Dilihat dari struktur kurikulum dan pengembangan sistem instruksionalnya pada Fakultas Adab Padang, sebagian besar masih menggunakan pola lama dalam mengintegrasikan keilmuan dan keislaman itu, yaitu penempatan mata kuliah umum dan mata kuliah agama secara terpisah. Beberapa mata kuliah sudah mulai memadukannya pada pokok bahasan, namun hanya sebatas memberikan nuansa keislaman pada mata kuliah umum dan memberikan komparasi keilmuan umum pada mata kuliah keislaman, meskipun ada sejumlah kecil mata kuliah yang sudah memadukan keduanya pada materi bahasan, akan tetapi masih dalam tahap eksploratif, karena kurang tersedianya referensi yang khusus mengintegrasikan keilmuan dan keislaman dalam paket keilmuan budaya itu sendiri.

Tuntutan integrasi keilmuan untuk mempersempit dikhotomi ilmu agama dan ilmu umum agaknya sudah menjadi suatu kemestian bagi perguruan tinggi agama. Kepmenag No 353 Tahun 2004 menegaskan bahwa : pendidikan tinggi agama Islam bertujuan mewujudkan lulusan yang akan menjadi anggota masyarakat dan warga negara yang beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia, memiliki pemahaman yang terpadu antara ilmu dan agama, berkeperibadian Indonesia…, dan seterusnya (Bab II pasal 2).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat dewasa ini, seyogianya tidak semakin menjadikan kita risih dan lalu semakin membuat jarak dengan perkembangan itu, sebaliknya kita harus merangkulnya. Banyaknya muncul fenomena kemasyarakatan dan kebudayaan akibat proses globalisasi dan kemajuan teknologi informasi memerlukan alternatif pemecahan budaya yang tidak cukup hanya dengan pendekatan keagamaan yang bersifat normatif an sich, namun lebih memerlukan pende-katan analitik keilmuan yang dilandaskan pada keislaman, atau paling tidak, pendekatan normatif yang dikomunikasikan dengan ”bahasa” keilmuan. Untuk tujuan itu, maka desain kurikulum yang mengintegrasikan keilmuan, baik secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis dengan keilmuan Islam, semakin diperlukan untuk menjadikan fakultas ini berkontribusi dalam memberikan solusi atas masalah-masalah kemasyarakatan dan kebudayaan yang muncul akibat perkembangan itu.

5. Tenaga Pengajar : Masalah Rekruitmen dan Peningkatan Kualitas

Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses pembelajaran adalah tenaga pengajar (dosen), karena selain merupakan tulang punggung kegiatan PBM, tenaga pengajar sangat menentukan tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran. Menyangkut masalah tenaga pengajar di Fakultas Adab, ada dua hal yang perlu dikemukakan di sini, yaitu : masalah rekruitmen dan peningkatan kualitas. Selama ini masalah ketersediaan tenaga dosen untuk bidang-bidang studi yang ada belum menjadi pertimbangan dalam proses rekruitmen yang dilaksanakan oleh Departemen Agama, setidaknya untuk beberapa tahun belakangan ini. Pengangkatan dosen dalam tahun-tahun awal 2000an untuk Fakultas Adab Padang misalnya, didominasi oleh dosen-dosen MKDU dan sekitar empat tahun belakangan lebih banyak untuk mata-mata kuliah umum. Sehingga ketersediaan dosen untuk bidang studi yang ada menjadi terabaikan. Ini dikemukakan hanya sebagai gambaran bagaimana kurang baiknya mekanisme rekruitmen yang telah dijalankan. Meski setiap tahun semua jurusan mengisi daftar kebutuhan tenaga dosen yang diperlukan, namun ternyata peluang yang dibuka untuk pengangkatan selalu saja tidak seperti yang diharapkan.

Masalah tenaga pengajar untuk saat ini sangat dirasakan pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab, karena dosen-dosen yang berkeahlian bahasa dan sastra Arab beberapa tahun terakhir terlihat ”hampir-hampir” mengalami krisis penyusutan. Penyusutan ini diasumsikan akan menjadi masalah utama pada jurusan ini, karena dosen-dosen yang berkualifikasi S1 Bahasa dan Sastra Arab, banyak yang melakukan ”hijrah keilmuan” pada saat harus melanjutkan studi S2 dan S3 dengan mengambil bidang-bidang studi di luar Bahasa dan Sastra Arab. Kenyataan ini disebabkan oleh antara lain tidak adanya aturan tentang mekanisme yang memberi kewenangan pada fakultas untuk perizinan itu, sementara pihak institut sepertinya memberi kelonggaran dalam pemilihan bidang studi lanjutan dosen. Di samping itu, tuntutan standar kualifikasi dosen yang mengharuskan S2, telah ”memaksa” sebagian besar dosen untuk memilih ”jalur mudah” dengan memasuki bidang studi lain di pascasarjana yang tersedia di daerah atau di pusat sendiri tanpa mempertimbangkan konsistensi bidang keilmuan yang telah dimiliki. Hal ini tentunya juga sangat terkait dengan pendidikan lanjutan S2 dan S3 untuk bidang Bahasa dan Sastra Arab yang hingga saat ini belum tersedia di dalam negeri.

6. Epilog

Dari empat permasalahan Fakultas Adab yang dianggap mendasar untuk mendapatkan perhatian itu, secara umum lebih menyangkut persoalan orientasi akademik yang menjadi arah bagi tujuan pembelajaran di level fakultas. Perbedaan persepsi seperti dikemukakan agaknya muncul dari kondisi ketidak pastian soal apa yang menjadi rumpun/bidang keilmuan yang sesungguhnya dimiliki oleh fakultas ini. Dari sinilah munculnya berbagai dilema menyangkut tujuan dan substansi pembelajaran dan sekaligus juga masalah perbedaan persepsi tentang nama fakultas sendiri sebagaimana yang dikemukakan terdahulu. Hemat penulis, hal utama yang perlu mendapatkan kepastian adalah persoalan bidang keilmuan fakultas sebagai rumpun dari disiplin-disiplin yang dikembangkan pada jurusan-jurusan. Bila kita telah sepakat, misalnya, untuk memilih untuk memadankan kata adab dengan humaniora atau ilmu budaya, artinya fakultas ini membidangi ilmu-ilmu yang mengkaji tentang fenomena kemanusiaan, terutama pada aspek ideasional atau dengan kata lain kajian budaya sebagai sistem gagasan. Bidang ini tentunya dapat mencakupi beberapa disiplin ilmu yang menggunakan kerangka epistemologi yang sama. Dengan demikian penetapan mata kuliah dasar khusus (MKDK) fakultas serta pengembangan jurusan-jurusan tentu akan mendapatkan arah yang jelas. Di samping itu lembaga keilmuan budaya dengan beberapa disiplin ilmu yang dibawahinya seyogianya sudah mulai memberi pertimbangan aspek integrasi keilmuan untuk menjembatani dikhotomi keilmuan agama dan umum. Model integrasi yang perlu dikembangkan bukan hanya memberi keseimbangan takaran sks antara mata kuliah umum dan mata kuliah keislaman, namun suatu pola pembelajaran yang mengintegrasikan keduanya. Hal ini tentulah tidak mudah dan perlu perumusan-perumusan formula yang dapat memadankan perspektif keilmuan Islam dan perspektif keilmuan barat yang selama ini dikenal.

Terakhir, paradigma pendidikan berbasis kompetensi tidak hanya meliputi perubahan kurikulum, akan tetapi juga mengan-daikan perubahan orientasi pada aspek-aspek yang terkait dengan proses pembelajaran, seperti pengalaman belajar dan evaluasi yang harus dijabarkan dalam dokumen tertulis (kurikulum, GBPP, SAP, Modul, dsb.), tentunya juga terkait dengan peningkatan kemampuan tenaga pengajar sendiri. Dalam kaitan ini, peningkatan kompetensi tenaga pengajar dalam pengembangan sistem instruksional (dokumen tertulis) itu menjadi penting, namun lebih penting lagi tentunya, peningkatan terus menerus penguasaan substansi keilmuan pada subbidang keahlian masing-masing lebih diperlukan daripada meluaskannya kepada subbidang keilmuan lainnya.

Demikian saja, mudah-mudahan “gumaman” introspeksi ini ada manfaatnya. Terima kasih.
Wallahu a’lamu bi ash-shawab.

© Irhash A. Shamad
Makalah, disampaikan pada Seminar Pengembangan Fakultas Adab, dalam rangka Forum Dekan Fakultas Adab UIN/IAIN Se-Indonesia ke-7 di Syahida Inn, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 10-12 Desember 2007
...selengkapnya...