MagzNetwork


Makalah, disampaikan oleh Dekan Fakultas Ilmu Budaya Adab, IAIN Imam Bonjol Padang pada Seminar Nasional "Integrasi Ilmu-Ilmu Ke-Adab-an dengan Ilmu-Ilmu Budaya-Humaniora" dalam rangka Musyawarah Nasional II Asosiasi Dosen Ilmu-Ilmu Adab (ADIA) dan Forum Dekan Fakultas Adab se-Indonesia di Yogyakarta 14-16 Oktober 2011

----------------------------------------

Tema “urun rembuk” dalam rangka Forum Dekan dan Temu Nasional ADIA kali ini sebenarnya sudah cukup lama mengapung, karena masalah integrasi keilmuan dan keislaman pada lembaga pendidikan tinggi Islam seolah menjadi keharusan ketika masalah dikhotomi keilmuan muncul kepermukaan, terutama sejak perubahan status beberapa IAIN menjadi universitas. Demikian juga, setelah pemberlakuan gelar akademik untuk semua lulusan fakultas Adab yang tidak lagi menggunakan embel-embel keislaman, tema inipun menguat dalam perbicangan di kalangan akademisi fakultas Adab sendiri.

Khusus masalah integrasi keilmuan pada fakultas Adab sendiri tentu ditujukan agar lembaga ini dapat menghasilkan produk keilmuan serta lulusan dengan kompetensi keilmuan Budaya (Humaniora) yang setara dengan Fakultas Ilmu Budaya lainnya, sekaligus juga memiliki penguasaan yang baik dan mampu mengaplikasikan konsep dan perspektif Islam dalam keilmuan dan keahlian yang dimilikinya. Selain itu, bidang keilmuan budaya (semestinya) tidak diorientasikan untuk menghasilkan praktisi budaya, tetapi justru produk lulusan dengan kapasitas keilmuan yang mampu mengamati, menganalisis dan menemukan solusi atas masalah-masalah kebudayaan yang aktual di masyarakat dengan pendekatan analitik keilmuan budaya perspektif Islam.

Menyangkut upaya integrasi keilmuan budaya dan keislaman, pelaksanaannya tidak semudah yang diperkirakan, karena konsep integrasi memerlukan pemikiran yang komprehensif dan tidak bisa dilakukan secara parsial. Sementara banyak realitas akademik yang selama ini telah terbentuk di tingkat fakultas yang diasumsikan telah dan akan menjadi kendala untuk upaya dimaksud, diantara realitas itu adalah :

1. Masalah Rumpun Keilmuan

Hingga saat ini perbedaan persepsi tentang rumpun keilmuan fakultas masih menjadi masalah yang sulit untuk dipertemukan diantara disiplin keilmuan jurusan-jurusan yang ada. Pada hal, terkait masalah integrasi keilmuan seyogianya lebih diprioritaskan terhadap rumpun keilmuan yang dibidangi, bukan pada disiplin keilmuannya. Persoalan rumpun keilmuan ini selalu saja menjadi perbincangan di kalangan dosen-dosen fakultas Adab sendiri, yaitu antara yang berkecendrungan pilihan kepada Budaya (Humaniora), dan pilihan pada Sastra (Adab). Bila misalnya kita bersetuju dengan keilmuan budaya (humaniora), maka permasalahan integrasi tentu berkisar tentang bagaimana merumuskan perspektif keilmuan Islam dalam metodologi yang berlaku dalam keilmuan budaya (dimana sastra adalah bagian daripadanya), bagaimana pula konsepsi teoritis dari pendekatan keislaman dalam mengamati perubahan sosial dan budaya, dan bagaimana Islam mengajarkan tentang kekuatan perubahan dalam realitas sosial budaya masyarakat. Berangkat dari rumusan itulah kemudian dikembangkan kaidah analisis untuk setiap disiplin keilmuan jurusan yang berada dalam rumpun keilmuan budaya itu sendiri (ilmu bahasa, ilmu susastra, ilmu sejarah, dan ilmu informasi/perpustakaan).

2. Tradisi Akademik Dosen

Tradisi akademik yang sejak lama berlangsung di kalangan dosen fakultas Adab lebih cendrung naratif ketimbang analitis. Hal ini terlihat dari banyak karya ilmiah yang dihasilkan oleh dosen sendiri yang minus metodologi dan teori, demikianpun dalam penyajian materi perkuliahan tentang obyek kajian yang ternyata lebih cendrung bersifat informatif untuk tujuan penguasaan materi daripada melakukan analisis untuk tujuan pengembangan kemampuan menalar mahasiswa melalui aplikasi teori dan metodologi. Ini lebih disebabkan karena lemahnya dukungan kompetensi mayoritas dosen yang mengampu mata kuliah (yang bersifat obyek kajian) dalam mengaplikasikan teori dan metodologi. Keadaan ini, tentu dapat dipahami, karena dosen-dosen pada umumnya adalah juga hasil dari proses pembelajaran yang menganut ‘dikhotomi keilmuan’ sebagaimana yang sudah ditempuh oleh dosen yang bersangkutan pada waktu sebelumnya. Kecendrungan ini bahkan juga telah mewarnai penyusunan syllabi mata-mata kuliah, dimana masalah integrasi keilmuan lebih banyak dijabarkan hanya sebagai penambahan materi keilmuan umum ke dalam pokok bahasan, bukan mengintegrasikannya.

Seyogianya mata kuliah obyek kajian harus disajikan dalam kerangka metodologis dan bersifat analitis, bukan secara deskriptif naratif, karena, kompetensi lulusan pendidikan jalur akademik strata satu (yang bukan vokasi) pada fakultas Adab, tentu yang diharapkan adalah kompetensi penguasaan metodologi keilmuan budaya ketimbang penguasaan terhadap obyek kajian an sich.

Penguasaan metodologi yang baik yang dipadukan dengan konsepsi keilmuan Islam tentu akan menjadikan para lulusan lebih mampu mengimplementasikan pengembangan keahliannya dengan lebih baik terhadap realitas sosial dan budaya yang terus berkembang, daripada hanya menguasai secara baik substansi obyek kajian yang menjadi keahliannya.

3. Masalah Kualifikasi Dosen

Jumlah dosen dengan kualifikasi keilmuan budaya untuk mengampu mata kuliah teoritis relatif masih sangat kurang. Kalaupun ada, itupun biasanya diisi dengan dosen yang direkrut dari lulusan perguruan tinggi umum yang minus penguasaan keilmuan Islam. Komposisi kurikulum hanyalah penambahan mata kuliah umum, bukan mengintegrasikan antara keilmuan dan keislaman, atau tepatnya masih dalam nuansa dikhotomi keilmuan. Pada hal upaya integrasi seyogianya yang diperlukan adalah dosen yang menguasai keilmuan budaya sekaligus memiliki kompetensi keilmuan Islam serta mampu mengintegrasikan keduanya. Kenyataan seperti ini disadari sebagai kesulitan tak terhindarkan saat ini, karena lembaga pendidikan tinggi Islam yang ada belum memiliki kesiapan untuk menawarkan lulusan dengan kompetensi seperti itu, kecuali itu, bila Universitas Islam Negeri nantinya telah menghasilkan lulusan Strata 2 prodi Adab dan Humaniora yang dengan dukungan kurikulum yang dirancang untuk tujuan kompetensi yang dimaksud.

4. Masalah Kelangkaan Referensi

Persoalan lain yang mungkin perlu mendapat perhatian kita untuk kesiapan integrasi keilmuan budaya dan keislaman ini ialah kurangnya referensi yang mendukung tujuan itu. Referensi yang dimaksud adalah referensi dengan muatan konsep metodologi keilmuan budaya perspektif Islam, begitu juga hasil-hasil penelitian tentang obyek kajian yang menggunakan metodologi itu. Kelangkaan referensi ini nampaknya bersumber dari kenyataan bahwa selama ini belum ada upaya yang sungguh-sungguh dari kalangan ilmuan Adab (terutama Guru-Guru Besar) dalam menjembatani kedua bidang ilmu ini untuk melahirkan konsep-konsep dan paradigma metodologi keilmuan dan keislaman itu secara teoritis.

Di samping itu, proses pembelajaran yang berlangsung untuk beberapa fakultas Adab selama ini kurang memberikan ruang secara sungguh-sungguh untuk menggunakan referensi serta mendalami karya-karya besar intelektual Muslim zaman lalu semisal Ibnu Khaldun (untuk Sejarah dan Sosiologi Islam), Al-Biruni (untuk Antropologi Islam), dan lain-lain. Padahal karya-karya tersebut sudah sangat umum diketahui menjadi rujukan oleh ilmuan-ilmuan besar di dunia Barat

5. Otoritas Keilmuan

Lemahnya persepsi tentang fakultas sebagai pemegang otoritas keilmuan telah menyebabkan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan kurang diorientasikan kepada upaya penguatan dan integrasi keilmuan dimaksud. Semua orientasi akademik fakultas sudah tentu sangat tergantung dan harus mendapatkan kendali dari pengambil kebijakan tertinggi di fakultas, oleh karenanya kompetensi keilmuan yang dimiliki oleh pengambil kebijakan di sini juga menjadi sangat penting, karena akan sangat menentukan dinamika akademik fakultas secara menyeluruh. Upaya ini terutama diperlukan dalam mensinkronkan semua kegiatan akademik fakultas terkait dengan perencanaan program peningkatan, regulasi, penganggaran, rekruitmen, dsb. Semua itu tentu harus mengacu pada upaya integrasi yang dimaksud.

Akan tetapi dari kenyataan regulasi yang diberlakukan di perguruan tinggi Islam saat ini agaknya hal itu masih belum menjadi pertimbangan. Ini terlihat dari sistem kepemimpinan pada lembaga pendidikan tinggi yang masih sarat nuansa birokratis murni ketimbang nuansa akademisnya, padahal konsepsi “fakultas” tidak sekedar menjadi unit kerja administratif, tetapi lebih pada pengklassifikasian bidang ilmu dimana semua kebijakan pengembangannya lebih diorientasikan pada produk keilmuan.

Selain itu, regulasi tentang standar kemajuan sebuah lembaga keilmuan (fakultas/jurusan) selama ini sering lebih ditentukan oleh keberhasilan kinerja administratif, dan sangat kurang terhadap kreatifitas akademik, lebih kepada konsistensi regulatif daripada inovasi ilmiah, dan lebih cendrung pada kuantitas daripada kualitas dalam mengukur peningkatan kelembagaan, seperti input (mahasiswa), proses pembelajaran, maupun produk (lulusan) yang dihasilkan dan sebagainya.

Epilog : Metodologi Keilmuan Humaniora Perspektif Islam

Integrasi keilmuan budaya (humaniora) dan keislaman hendaklah dipahami sebagai upaya bagaimana menggagas sebuah acuan konsep epistemologi keislaman yang akan dijabarkan menjadi kerangka metodologi untuk mendasari semua aspek telaahan tentang fenomena kemanusiaan.

Metodologi pada dasarnya adalah prosedur penalaran untuk menemukan kebenaran penjelasan tentang kausalitas obyek berdasarkan karakter obyek itu sendiri. Selama ini klaim kebenaran ilmiah tentang obyek manusia/masyarakat, masih didominasi oleh konsep epistemologi yang menjadi acuan tunggal pada metodologi yang digunakan oleh ilmu alam, sebagai yang dikembangkan oleh banyak sosiolog dan antropolog barat, dimana manusia secara individual dipandang tidak memiliki kekuatan kausal dalam kehidupan sosialnya, akan tetapi tunduk pada kekuatan-kekuatan obyektif di luar dirinya (struktur-struktur). Konsep epistemologi inilah yang kemudian mendasari pengembangan kajian tentang perubahan-perubahan yang berlaku dalam obyek manusia, masyarakat, dan juga kebudayaan.

Selain itu, secara ontologis, konsepsi yang dikembangkan oleh ilmuan kemanusiaan dan kemasyarakatan itu, melihat manusia sebagai obyek kajian lebih pada tatanan fisik empirik, dan sangat kurang dalam mempertimbangkan tatanan ideasional spiritual dimana terdapat area yang menggerakkan kebudayaan itu sendiri.

Upaya integrasi keilmuan yang dimaksudkan bukanlah untuk menafikan apa yang kita kemukakan itu. Kaidah-kaidah teoritis keilmuan barat tetap digunakan untuk mengkonsepsikan kaidah-kaidah normatif tentang masyarakat sebagai yang diajarkan oleh Islam, untuk kemudian dirumuskan menjadi sebuah kerangka epistemologi dan metodologi keilmuan Islam yang akan digunakan untuk melakukan telaahan tentang perkembangan budaya dalam masyarakat Islam, dan tidak mustahil juga untuk masyarakat-masyarakat ideologis lainnya. Inilah yang dimaksudkan dengan “Keilmuan Budaya perspektif Islam”.

Dengan keilmuan budaya perspektif Islam itulah kemudian dikembangkan suatu acuan akademis untuk kerangka analisis beberapa disiplin ilmu yang berada di bawah payung ilmu budaya (humaniora) itu sendiri. Dengan demikian diharapkan jurusan Bahasa dan Sastra (Arab/Inggris) misalnya, akan melahirkan lulusan yang memiliki kemampuan memahami fenomena kemanusiaan dan kebudayaan secara kritis melalui telaah kebahasaan dan kesusasteraan dengan perspektif Islam, dan bukan lulusan yang hanya mampu berbahasa Arab/Inggris. Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam dengan lulusan yang mampu memahami realitas manusia dan mengungkap berbagai jaringan yang membentuk keberadaannya sebagai masyarakat serta perubahan yang berlangsung didalamnya melalui perspektif Islam, dan bukan lulusan yang hanya menguasai hafalan-hafalan sejarah. Begitu juga dengan Ilmu Informasi dan Perpustakaan, lulusannya diharapkan memiliki kemampuan mengkaji peran sistem informasi dan perpustakaan sebagai salah satu kekuatan pembangun informasi dalam rangka pencerahan peradaban manusia, dan bukan hanya mampu mengolah sistem pelayanan informasi/perpustakaan secara praktis seperti yang diharapkan pada lulusan vokasi (D.3) perpustakaan.

Demikian juga misalnya, bila fakultas Adab ingin mengembangkan dan membuka beberapa disiplin lain yang berada di dalam wilayah kajian keilmuan budaya, seperti : Philologi, Linguistik, Arkeologi, Filsafat dan sebagainya, maka pengembangan disiplin-disiplin itu tentu juga akan mengacu pada suatu konsepsi yang sama, yaitu metodologi keilmuan budaya yang didasarkan pada konsep epistemologi Islam.

Demikian, wallahu a’lamu bish-shawab.

Yogyakarta, Oktober 2011

@ Irhash A. Shamad


0 komentar

Posting Komentar