MagzNetwork

Ulama Lingkungan Hidup Itu Bernama : RAICHUL AMAR !

Diposting oleh Fakultas Ilmu Budaya - Adab | 16.07 | | 0 komentar »

Dalam Acara Serah Terima Dekan Fakultas Adab yang lama (Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum) kepada Dekan Baru (DR. Firdaus, M.Ag), sebagai bentuk APRESIASI, Fakultas Ilmu Budaya-Adab memberikan Penghargaan kepada Dosen Fak. Ilmu Budaya - Adab IAIN Imam Bonjol Padang Drs. H. Raichul Amar, M.Pd (sejak Nopember 2010 : pensiun) yang menerima penghargaan SATYALENCANA Lingkungan Hidup dari Wakil Presiden RI.

Berikut :
Penggalan Tulisan untuk beliau yang juga diposting di Padang Ekspres dan FB Fakultas Ilmu Budaya - Adab IAIN Imam Bonjol Padang.

RAICHUL AMAR : SEONGGOK SEJARAH DALAM MINIATUR YANG PADAT
Oleh :
Muhammad Ilham


Dedikasi (hanya) untuk Bapak Raichul Amar ..... terima kasih atas PIDATO "kocak-inspiratif"nya tadi siang !. Energi Bapak Luar Biasa !

“Begini saja, biarlah saya menjadi ulama lingkungan hidup, karena sudah banyak sarjana IAIN yang menjadi penyambung lidah nabi Muhammad SAW. Karena lingkungan hidup juga berkaitan dengan moralitas ummat manusia”, demikian kata Raichul Amar kepada saya sepulang dari menerima tanda kehormatan Satyalencana Pembangunan 2011. Sebanyak 12 orang yang telah menerima Kalpataru mendapatkan anugerah tanda kehormatan dari Wakil Presiden Boediono. Tanda kehormatan tersebut disematkan oleh Wakil Presiden Boediono di Istana Wapres, Jakarta, pada hari Rabu (23/11/2011). Sebuah penghargaan tinggi bagi “orang IAIN”. Bila Rendra yang seniman dianggap sebagai manusia besar dalam bidang sastra, orang tak akan tercengang. Rendra on the track. Tapi bila Wildan Yatim dan Ajib Rosidi yang memiliki latar belakang eksak menjadi orang besar dalam dunia sastra, itu adalah luar biasa. Demikian halnya dengan Raichul Amar. “orang IAIN” ini besar dalam ranah yang membuat banyak orang bertanya-tanya, “mengapa dari IAIN muncul akademisi-intelektual yang sangat concern dan care dalam bidang lingkungan hidup?”. Dan Raichul Amar yang ulama lingkungan hidup ini – dalam bahasa Sartre – menemukan eksistensi keberartian karir dan pengabdiannya dalam bidang lingkungan hidup tersebut. “Itu gawe saya, karena institusi pendidikan agama (Islam) tidak hanya bicara dalam aspek moral antar manusia dan Tuhan, tapi juga bagaimana bicara tentang moralitas manusia dengan lingkungan”, ujar beliau ketika kali pertama menemui saya untuk bercerita tetang bahagianya ia diapresiasi negara. Sesuatu yang tidak diterimanya dari institusi yang pernah dibesarkannya. Satyalencana (dan sebelumnya Kalpataru) yang disematkan oleh Wakil Presiden tersebut terkesan “senyap” di kampus Lubuk Lintah. “Biarlah saya yang noktah kecil ini memberikan apresiasi dan rasa bangga teramat besar pada Bapak”, kata saya pada sore itu pada beliau.


Asrul Sani, sastrawan dan sutradara film jempolan yang pernah dimiliki Indonesia, begitu sederhana melihat manusia. Bagi putra Rao Pasaman yang merupakan sahabat karib Chairil Anwar ini, jenis manusia itu hanya ada dua : “Ada orang yang menganggap duduk di kursi sebagai sesuatu yang luks, dan berfikir atau berbuat sebagai hal yang biasa. Kemudian, ada yang menganggap duduk di kursi sebagai sesuatu yang biasa, tapi berfikir dan berbuat sebagai sesuatu yang luks”. Satu, berbuat terbaik karena posisi yang diemban, status yang disandang dan fungsi-peran yang dimiliki. Dua, berbuat baik dan maksimal, tanpa tergantung pada posisi dan jabatan yang disandang. Dan, Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De, yang kesehariannya biasa dipanggil dengan Pak Men ini, bagi saya, bila meminjam kategorisasi sederhana Asrul Sani, termasuk insan manusia yang kedua. Menganggap berfikir dan berbuat itu adalah sesuatu yang substansial, memiliki nilai tinggi tanpa harus melihat, posisi dan jabatan apa yang disandangnya.

Jika kita lihat lelaki dengan ransel yang disandang menyilang berjalan menyusuri kampus IAIN Imam Bonjol Padang, hampir setiap pagi dan jelang sore, jika kita ingat sosok berkacamata dengan tinggi sedang yang sangat menyukai olah raga “jalan kaki” yang juga disukai Mohammad Hatta kala dibuang di Bandarneira dulu, kita bisa iri kepadanya. Di usia 65 tahun, doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De, tetap energik seperti anak muda (dalam artian positif). Hampir tak pernah – bahkan tak pernah sama sekali – saya melihat beliau menyetir mobil sendirian (bukan berarti beliau tak punya mobil. Mobilnya merasa “sedih” karena tak pernah diduduki doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De ini). Selalu mencintai yang namanya “olah raga” jalan kaki. “Menyehatkan badan dan membuat kita senantiasa berinteraksi dengan berbagai fenomena yang terlihat”, katanya suatu ketika kala “mentraktir” saya minum Kopi Gingseng. Karena itu pulalah mungkin, beliau tidak pernah kehilangan stock “menulis”. Ide terus bermunculan, selalu actual. Bila pada umumnya insan akademik selalu menulis dalam bentuk teks-buku, maka “menulis” a-la Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De adalah melalui foto-foto yang indah, “menggigit” dan actual. Dalam sebuah catatan Yurnaldi, seorang koresponden Kompas pada tahun 1995, Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De dianggap sebagai insane akademik yang menyampaikan ide dan gagasannya dalam “ranah” yang dianggap asing oleh mereka yang bergelut dalam dunia akademik. Tapi disitulah kekuatan Ulama Lingkungan Hidup ini. Sesekali, beliau juga berpuisi. Saya tak tahu, darimana beliau belajar menulis puisi. Namun, kala saya membaca autobiografi-nya yang ditulis dalam format puisi serta buku-nya yang berjudul “Sarok”, saya berfikir, kita tak akan gamang bila beliau disandingkan dengan Taufik Ismail dalam sebuah forum seminar tentang pusi, katakanlah demikian.

Waktu demi waktu, energi dan fikiran dicurahkan beliau. Tanpa terasa, sudah 33 tahun beliau yang humoris ini, berkhidmat di IAIN Imam Bonjol Padang. Saya secara pribadi, telah berinteraksi dengannya sejak tahun 1993. Interaksi intens sekitar 10 tahun. Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangannya, bagi saya beliau sangat inspiratif. Di akhir beliau berkhidmat, beliau masih sempat menghidupkan sebuah tradisi yang jarang dihidupkan insane akademik, khsususnya di IAIN Imam Bonjol Padang, yaitu “pergi tampak punggung” dengan meninggalkan sebuah teks-buku. Penyair Kahlil Gibran suatu ketika pernah berkata, "Jangan kau tangisi hilangnya harus mawar di taman, tapi tangisilah kehilangan tradisi menanam mawar itu". Bukan harumnya, tapi tradisi untuk menciptakan keharuman itu. Dari mana datangnya harum, bila kita tak menanam sumber harum tersebut ?. Indonesia, dibangun oleh banyak sekali orang, yang beberapa di antara mereka adalah para pecinta buku, para pemamah buku dan para penulis buku. Banyak sekali fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hal itu. Saya akan langsung ingat kutipan Hatta yang sangat terkenal : "Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja, sebab dengan buku pikiranku tetap bebas." Hatta, lewat kutipannya itu, tampak benar sebagai orang yang sangat mencintai dan menghargai buku. Jika ingatan saya tidak berkhianat, kutipan itu muncul dalam buku Memoir yang ditulis Hatta sendiri. Kutipan itu muncul dalam konteks ketika Hatta sedang mengisahkan hari-harinya yang sepi di tanah buangan di Digul pada 1934, yang lantas berlanjut di pulau Ende pada 1936. Saya kira orang tak cukup alasan untuk menyebut kutipan itu tak lebih sebagai sok pamer. Dari buku ke buku, dari tulisan ke tulisan, sambung-menyambung menjadi satu, itulah insane akademik. Sayangnya, itu insane akademik dulu, setidaknya (sekali lagi) apa yang terdapat dan berlaku di sekitar saya. Maka Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De diakhir masa tugasnya kembali menghidupkan tradisi tulis, meninggalkan “ranah” aktualisasi peran formalnya dengan meninggalkan buku Refleksi Pengabdiannya selama ini di IAIN Imam Bonjol Padang. Sebuah usaha mengharumkan tradisi, sebagaimana yang dikatakan Kahlil Gibran diatas.
Itulah Pak Men, selalu memberikan inspirasi bagi orang lain. Tak salah, bila seandainya saya ingin mengatakan, bahwa beliau adalah : “Seonggok Sejarah dalam Miniatur yang Padat”. 33 tahun adalah onggokan sejarah. Dan, selama 33 tahun tersebut, terlampau sedikit yang bisa diceritakan beliau dan yang bisa kita tangkap. Dan Satyalencana yang beliau terima beberapa hari lalu, adalah capaian inspiratif yang beliau suguhkan kala beliau telah pension.

Pak Men, sebagai insane akademik dari sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam Sumatera Barat, izinkan saya yang “kopral” ini mengucapkan rasa bangga saya pada anda. IAIN Imam Bonjol Padang telah anda warnai dan menciptakan perspektif unik bagi orang lain, lembaga pendidikan tingi Islam yang pernah dihuni pemenang Kalpataru dan Satyalencana. Dan anda sama sekali tak pernah “merajuk” karena meminta lembaga anda (sekedar) mengucapkan “selamat” dan “rasa bangga” di halaman paling kecil sebuah media massa. Nampaknya anda memegang teguh apa yang telah disabdakan (dalam bentuk improve) John F. Kennedy : “Jangan kau tanyakan apa yang telah diperbuat IAIN padamu, tapi tanyakan apa yang telah kamu perbuat bagi IAIN”

::::: Seluruh CIVITAS AKADEMIKA dan ALUMNI Fak. Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang mengucapkan Selamat dan Sukses Selalu kepada Bpk.... !

0 komentar

Posting Komentar